Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, pernah mengalami masa kejayaan industri manufaktur pada era Orde Baru. Pada dekade 1990-an, sektor manufaktur menjadi penyokong utama Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi signifikan, mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8%.
Namun, krisis ekonomi 1998 menjadi titik balik yang membawa deindustrialisasi. Fokus ekonomi bergeser kembali ke eksploitasi SDA mentah, seperti batu bara dan kelapa sawit. Akibatnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun, dari 26,11% pada 2011 menjadi hanya 18,67% pada 2023. Pertumbuhannya pun melambat, dari 6% pada 2011 menjadi 4% di akhir 2023.
Dalam acara Mindialogue: Hilirisasi dan Industrialisasi Strategi Menuju Indonesia Emas 2045 pada 9 Januari 2025, Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional sekaligus mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menekankan pentingnya hilirisasi untuk mendorong manufaktur berbasis SDA.
“Manufaktur kita dulu andalkan tekstil, garmen, makanan, dan elektronik. Namun, industri padat karya seperti itu sulit bersaing dengan negara seperti Bangladesh. Solusi kita adalah mengembangkan manufaktur berbasis SDA untuk menciptakan nilai tambah,” jelas Bambang.
Menurut Bambang, meskipun hilirisasi hingga tahap smelter sudah dilakukan, hasilnya belum mampu mengangkat daya saing secara signifikan. “Kita butuh hilirisasi yang lebih maju, seperti memproduksi baterai kendaraan listrik (EV) dari nikel atau mengolah tembaga menjadi produk bernilai tinggi seperti yang dilakukan Chile,” tambahnya.
Dua Sisi Koin untuk Pertumbuhan Ekonomi
Bambang menegaskan bahwa hilirisasi tidak hanya soal mengolah SDA mentah, tetapi juga membangun ekosistem inovasi. Ia mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti MIND ID, untuk memperluas investasi dalam riset dan pengembangan (R&D).
“Ini waktu yang tepat bagi BUMN untuk berinovasi, bukan hanya berhenti di smelter, tetapi hingga menghasilkan produk akhir dengan nilai tambah tinggi,” ujarnya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke angka 6-8%, Indonesia juga harus meningkatkan investasi domestik maupun asing. Saat ini, pertumbuhan investasi hanya sekitar 5%, angka yang dinilai tidak cukup. “Harus mendekati dua digit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” tegas Bambang.
Ia mencontohkan Vietnam sebagai negara yang berhasil menarik perusahaan teknologi global, seperti NVIDIA, untuk membangun pusat R&D. “Indonesia perlu menuju manufaktur berbasis produk baru, seperti yang dilakukan Vietnam,” katanya.
Namun, upaya menarik investasi asing langsung (FDI) masih terkendala birokrasi yang rumit dan kepastian hukum yang lemah. Akibatnya, banyak investor memilih Malaysia atau Vietnam sebagai alternatif.
“Ketika menghadapi hambatan di Indonesia, mereka dengan mudah pindah ke negara tetangga,” ungkap Bambang. Ia juga menyarankan pemerintah memberikan insentif, seperti super tax reduction, bagi perusahaan yang berinvestasi dalam R&D.
Belajar dari Negara Lain
Selain itu, Bambang mengkritisi minimnya dukungan pemerintah terhadap investasi strategis, seperti pusat data. “Apa yang mereka dapatkan di Johor, Malaysia, jauh lebih menarik dibandingkan di Batang, Indonesia,” katanya.
Andrinof Chaniago, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional era Presiden Joko Widodo, turut mendukung langkah hilirisasi SDA. Namun, ia mengingatkan bahwa hilirisasi hanya satu bagian dari strategi besar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
“Kita tidak bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% jika industri hanya tumbuh sekitar 4,5% per tahun,” jelas Andrinof. Ia menyarankan Indonesia belajar dari Vietnam dan India yang memiliki industri solid serta sumber daya manusia berkualitas tinggi.
Menuju Indonesia Emas 2045
Hilirisasi SDA, inovasi, dan perbaikan iklim investasi adalah strategi utama untuk membawa Indonesia keluar dari middle-income trap. Bambang optimistis bahwa hilirisasi dapat menjadi pendorong reindustrialisasi yang lebih luas.
“Hilirisasi bisa menjadi awal yang baik. Kita harus berpikir lebih jauh, bukan hanya berhenti di smelter, tetapi menciptakan produk akhir bernilai tambah tinggi,” pungkasnya.
Social Plugin